Sabtu, 29 Mei 2010

LAPORAN PERJALANAN MUSEUM TOSAN AJI

LAPORAN PERJALANAN
MUSEUM TOSAN AJI


Sekelumit Tentang Tosan Aji
Tosan aji merupakan salah satu hasil budaya bangsa pada masa perundagian sebagai warisan nenek moyang yang menunjukkan salah satu identitas budaya bangsa yang sampai kepada kita sekarang. Yang dimaksud Tosan Aji adalah sejenis senjata pusaka dari logam besi yang mendapat tempat terhormat (yang dihargai) di mata masyarakat terutama pada masa lampau, diantaranya berupa keris, tombak, pedang,kudi dan menur. Dalam alam pemikiran masyarakat lebih-lebih pada masa lampau Tosan Aji dianggap memiliki kekuatan gaib/kesaktian yang dapat mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat.

Alam pemikiran demikian berproses seirama dengan religi kemasyarakatan dan perkembangan jaman. Menurut D.G Stibe dan Letkol Uhlenbech dalam Encyclopedie-nya dinyatakan bahwa pada musium Antrhropologi /Ethnografi di Leiden telah disimpan keris yang berasal dan ditemukan di tengah-tengah stupa besar candi Borobudur. Yang diperkirakan keris tersebut sudah tua ketika dimasukkan ke dalam stupa yang kemungkinan sekali bersamaan dengan saat didirikan Candi Borobudur kurang lebih abad VIII. Dengan demikian pada waktu itu Tosan Aji telah mendapatkan tempat tinggi pada dalam kehidupan religi kemasyarakatan sehingga ditempatkan dalam bangunan monumental - religius – Borobudur. Nilai-nilai itulah yang kemungkinan melatar belakangi tingginya harga sebuah Tosan Aji

Sejarah Singkat Museum Tosan Aji
Museum Tosan Aji yang berada di Kabupaten Purworejo diresmikan pada tanggal 12 April 1987 oleh Gubernur Propinsi Jawa Tengah H. Ismail. Museum ini merupakan salah satu sarana untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang yang terdiri dari keris, pedang, kudi cundrik. Tosan Aji diartikan masyarakat sebagai senjata terbuat dari logam besi yang mempunyai kedudukan terhormat pada pandangan mata masyarakat terutama pada masa lampau. Tema Museum tosan aji “Tosan Aji sebagai bukti kemampuan teknologi bangsa kita”

Merupakan satu-satunya museum yang ada di Kabupaten Purworejo tempatnya sangat strategis karena berada di tengah Jantung Kota Purworejo tepatnya di sebelah selatan alun-alun besar Purworejo. Di museum ini tersimpan berbagai macam keris dan tombak yang berasal dan masa Majapahit hingga sekarang. Selain tombak dan lingga, di museum ini pengunjung juga mendapatkan informasi mengenai jenis keris serta bagaimana keris itu dibuat.

Setiap I Muharam atau I Syuro di tempat ini dilaksanakan jamasan atau pencucian senjata tajam dan pusaka yang dilakukan oleh tetua, dan ini tidak terbatas pada dimanfaatkan oleh masyarakat luas pencinta keris.
Museum Tosan Aji merupakan kebanggaan masyarakat Purworejo. Diharapkan dengan museum ini generasi muda lebih mencintai benda-benda pusaka yang ada di museum. Kolam Renang Artha Tirta Terletak di Kelurahan Baledono Kecamatan Purworejo, tempatnya strategis dan mudah dijangkau. Kolam Renang Artha Tirta adalah kolam renang umum dan satu-satunya di Punworejo. Kolam ini merupakan kolam renang dengan standar Internasional terdiri dan 2 bagian yaitu kolam untukanak-anak dan dewasa, dilengkapi dengan locker persewaan alat-alat seperti pelampung, pakaian renang dan kantin. Di lingkungan kolam renang ada tempat untuk hiburan (dangdut dan pagelaran musik) dan tempat lomba motor cross.

Mengenal Tosan Aji

TOSAN AJI terdiri dari dua kata yaitu:
Tosan yang berarti benda yang terbuat dari logam
Aji yang berarti benda yang mempunyai nilai di mata masyarakat
dengan demikian dapat di sinpulkan bahwa
Tosan Aji adalah sejenis senjata pusaka dari logam yang mendapatkan tempat terhormat terutama di masyarakat Jawa pada masa lampau, jenis Tosan Aji ini terdiri dari: keris, tumbak, pedang, kudi, patrem (menur).

Tosan Aji merupakan salah satu hasil budaya bangsa pada masa perundagian sebagai warisan nenek moyang kita yang menunjukkan satu identitas budaya bangsa sampai masa kini.

Dalam alam pemikiran masyarakat tradisional Tosan Aji dianggap memiliki kekuatan gaib atau kesaktian yang dapat mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat tersebut. Seseorang yang dianggap memiliki status sosial yang memadai apabila telah memenuhi seluruh persyaratan-persyaratan sosial kemasyarakatan terutama bagi masyarakat Jawa yaitu: Wisma (rumah), Wanita (isteri), Curiga (tosan aji), Turonggo (kuda), Kukilo (burung).

Alam pemikiran demikian berproses seirama dengan religi kemasyarakatan dan perkembangan jaman.

Untuk memilih dan mengetahui tosan aji yang baik serta bermutu tinggi ada tiga dasar pemilihan:

1. Sepuh, yakni ketuaan umur jaman pembuatan dan bahan-bahan serta campuran logam yang digunakan betul-betul tua atau tidak.

2. Wutuh, keadaan Tosan Aji betul-betul utuh tidak ada cacatnya atau tidak rusak sedikitpun.

3.Tangguhyang dapat berarti periode pembuatan atau gaya pembuatan. Hal ini serupa dengan misalnya dengan tari Jawa gaya Yogyakarta dan Surakarta. Pemahaman akan tangguh akan membantu mengenali ciri-ciri fisik suatu keris.
Beberapa tangguh yang biasa dikenal:
tangguh Majapahit
tangguh Pajajaran
tangguh Mataram
tangguh Yogyakarta
tangguh Surakarta.

Adapun pembagian tahapan-tahapan periode pembuatan itu adalah sebagai berikut:
1. Kuno
(Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita, Medang Siwanda, Medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Pengging Witaradya, Kahuripan dan Kediri.

2. Madyo Kuno
(Kuno Pertengahan) tahun 1126 M – 1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Pajajaran dan Cirebon.

3. Sepuh Tengah
(Tua Pertengahan) tahun 1251 M – 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.

4. Tengahan
(Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang, Madiun, dan Mataram

5. Nom
(Muda) tahun 1614 M – 1945
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura dan Surakarta.

6. Kamardikan 1945 hingga seterusnya.
Adalah keris yang diciptakan setelah Indonesia merdeka, 1945.
Pada waktu itu pun raja di Surakarta Hadiningrat ke XII mendapat julukan Sinuhun Hamardika. Keris yang diciptakan pada era ini masuk dalam penggolongan keris kamardikan.
Untuk memilih dan mengetahui tosan aji yang baik serta bermutu tinggi ada tiga dasar pemilihan yg telah disebutkan di atas
Tetapi sekarang itu bukan menjadi patokan utama karena ada istilah lagi TuhSiRap yang artinya Utuh, Wesi, dan Garap, wesi berkaitan dengan material pembuatnya dan garap adalah kerapihan pembuatannya.

Ada lagi istilah YAMORJASINGUN, yang berarti guwaYA, paMOR, waJA, weSI, dan waNGUN.

Guwaya kesan yang didapat dari melihat sebuah keris. Ada yang kesannya angker / serem, ada yang biasa biasa saja.

Pamor berarti bahan pamor dan jenis pamor. Bila terbuat dari meteor dan berpamor miring / pamor langka maka makin indah.

Waja adalah baja sebagai slorok / ati atau bagian tengah lapisan keris. Bila bajanya wasuhan alias menempa sendiri maka akan bercahaya biru kehijauan dan ini dianggap memiliki nilai lebih daripada baja buatan Krakatau Steel.

Wesi adalah besi, kualitas besi akan nampak berbeda bila telah diwarangi, besi yang baik akan berwarna hitam, sementara yang tidak baik akan berwarna selain hitam, mis: abu abu, dsb,

wangun adalah ketepatan perbandingan ukuran2 keris. Misalnya panjang bilah, condong leleh (kemiringan), panjang greneng, dalamnya sogokan, dsb.



Tata Penyajian

Tata penyajian pameran tetap Museum Tosan Aji, merupakan penataan yang berdasarkan konsepsional oriented, namun tidak melepaskan pula situasi dan kondisi koleksi yang ada dan telah dikumpulkan. Dalam gagasan dari tata penyajian pameran didasari oleh ciri-ciri khusus kebendaannya dan asal daerah penemuannya, sehingga benda koleksi Tosan Aji tersebut dapat merupakan koleksi yang mewakili jaman serta daerahnya.

Konsepsi atau gagasan penyajian pameran tetap berdasarkan dari beberapa koleksi yang telah dimiliki dan ditambah dengan rencana koleksi berikutnya.

Tema yang diterapkan untuk pameran tetap Museum Tosan Aji: “Tosan Aji Sebagai Bukti Kemampuan Teknologi Bangsa Kita.” Dengan demikian maka disusunlah sistematika penyajian yang dibagi 3 (tiga) ruang:

Ruang pertama disebut sebagai ruang Undagi atau Ruang Teknologi, pada ruang ini disajikan koleksi berupa bahan baku yang digunakan untuk membuat tosan aji, terutama yang ditampilkan pada pameran ini adalah bahan baku untuk membuat pamor, nekel, baja dan bentuk secara urut bahan menjadi wujud keris.

Ruang kedua disebut sebagai Ruang Pamor, Dapur dan Warangka, di ruang ini menyajikan keterangan tentang pamor, dapur warangka. Dari masing-masing jenis tersebut ditampilkan pula beberapa contohnya seperti pamor Blarak Ngirit, Dapur Luk dan Dapur Leres. Demikian pula warangka ditampilkan contoh Warangka Gayaman dan Warangka Ladrangan. Di samping itu juga ditampilkan keterangan tentang Ukir dan beberapa contoh dalam bentuk gambar jenis ukiran tersebut. Di akhir ruangan ini disajikan keterangan tentang Tangguh. Di antara keterangan tersebut diselipkan pula bagan Ricikan (bagian-bagian) wilah keris.

Ruang ketiga disebut juga Ruang Kagungan, untuk ruang ini menyajikan keterangan fungsi dan kegunaan Tosan Aji dalam kehidupan masyarakat. Fungsi Tosan Aji yang paling utama dalam kehidupan masyarakat, dan ditampilkan dalam bentuk keterangan pada panil antara lain: Fungsi Praktis, Fungsi Estetis, Fungsi Religius, Fungsi Sosial, Fungsi Simbolik.
Di ruang ini juga di simpan beberapa peninggalan bersejarah yang lainya seperti :

Gamelan Kuno Kyai Cokronegoro, hadiah dari Sri Susuhunan Pakubuwono VI kepada Bupati Purworejo pertama “Cokronegoro I” serta beberapa Prasasti, Arca, Lingga, Yoni, Fragmen, Lumpang, Guci, Beliung, Batu Gong,Gerabah, Menhir, dan Fosil.
Salah satu benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah dan masih menjadi "misteri" asal usulnya adalah seperangkat gamelan Cokronagoro I yang tersimpan di Museum Tosan Aji (MTA). Perangkat alat musik Jawa itu diyakini merupakan warisan dari Raja Mataram Sultan Agung dan hingga kini usianya sudah mencapai sekitar 350 tahun.

Benda itu seperti menjadi garis pengikat yang membuktikan adanya keterkaitan antara wilayah Mataram (Ngayogyakarta dan Surakarta) dengan Kabupaten Purworejo yang dulunya bernama Bagelen. Perangkat gamelan itu memang sudah tidak difungsikan lagi. Terakhir dibunyikan lima tahun lalu. "Sekarang tidak dimainkan karena kualitas suara sudah berkurang. Tidak stem lagi," ujar staf MTA, Soebowo.

Bagian gamelan hingga kini masih lengkap di antarnya, gambang gangsa, gambang biasa, demung, demang, saron, bonang, slentem, kenong, kempul, kecer, dan gong kesemuanya terbuat dari perunggu kuno.

Gamelan Kyai Cokronagoro I, menurut sejarah, merupakan hadiah dari Sri Susuhunan Pakubuwono VI kepada Bupati Purworejo pertama kala itu, KR Adipati Cokronagoro I. Nama gamelan kemudian ditetapkan sama dengan nama bupati penerimanya.

Hadiah itu merupakan penghargaan pribadi kepada pimpinan wilayah Purworejo sebagai salah satu satu daerah pangkuan Kasunanan Surakarta. "Konon Sri Susuhunan mendapat gamelan itu dari leluhurnya lagi. Raja Mataram II, kami percaya yang dimaksud adalah peninggalan Sultan Agung," ungkap Soebowo.
Disini juga tersimpan jenglot laki laki

Sejak sebulan terakhir, jenglot menjadi “penghuni” baru di obyek wisata sejarah tersebut. Kedatangan jenglot di MTA ini bukan dimaksudkan untuk menggiring logika masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat mistis, tapi keberadaanya dipahami sebagai salah satu produk budaya masyarakat dan layak untuk diketahui.
“Jenglot ini tidak dikaitkan dengan hal-hal yang supranatural. Kami memajangnya hanya ingin menjadikannya sebagai daya tarik wisata baru. Juga agar dipahami masyarakat bahwa jenglot itu bagian dari produk budaya masyarakat, khususnya Jawa,” papar Kepala UPT MTA Tri Yuliana yang ditemui di kantornya, Jumat (19/3).
Dia berharap, MTA yang selama ini sepi pengunjung bisa ramai dengan adanya tambahan koleksi jenglot. Sehingga akan berdampak positif bagi perkembangan sektor pariwisata, khususnya wisata sejarah di Kabuaten Purworejo.
Diceritakan Tri, jenglot yang diberi nama Bethoro Untung itu sebenarnya termasuk “tamu tak diundang”. Kedatangannya dan kemudian menjadi penghuni MTA bermula saat salah satu karyawan MTA bernama Subowo dari temannya yang bernama Untung, warga Magelang.
“Pak Untung datang kesini dan menemui Mas Bowo. Dia membawa jenglot yang kemungkinan laki-laki. Entah pertimbangannya apa, benda itu diberikan Mas Bowo,” ujarnya menjelaskan asal mula koleksi jenglot tersebut.
Namun, setelah mendapatkan barang yang dianggapnya aneh itu, Bowo tidak berani membawanya pulang. Selanjutnya, atas kesepakatan bersama diputuskan disimpan bersama benda bersejarah lainnya di museum.
Dijelaskan Tri, keberadaan jenglot sendiri hingga kini masih menuai kontroversi. Sebagian orang meyakini bahwa jenglot merupakan perwujudan manusia yang sedang menimba ilmu magis dalam jangka waktu yang lama. Sementara sebagian lainnya meyakini jenglot tidak lebih dari sekedar benda pusaka, seperti batu akik atau keris.
Mendasarkan pada berbagai literatur yang dibacanya, Tri menjelaskan adanya sebagian orang yang mengaitkan jenglot dengan ilmu hitam yang memiliki banyak fungsi. Di sisi yang lain, misalnya aspek ilmiah belum bisa dipastikan jenglot sebagai mahkluk hidup karena tidak memiliki organ tubuh.
Ahli forensik di RSCM Jakarta sebenarnya sudah pernah melakukan penelitian dengan berbagai teknik metodologi, termasuk foto scan. Hasilnya, jenglot tidak memiliki organ tubuh vital, seperti jantung, tulang, dan yang lain. Hasil ini secara otomatis meragukan bahwa jenglot termasuk makhluk hidup.
Penelitian lain yang pernah dilakukan dokter Djaja Surya Atmaja PhD, dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa contoh kulit jenglot yang diperiksa memiliki karakteristik sebagai DNA (deoxyribosenucleic acid) manusia. Namun Djaja menolak anggapan seolah dia mengakui jenglot sebagai manusia.
Dari penelusuran beberapa literatur, Djaja memeriksa DNA Jenglot pada lokus nomor D1S80 dari kromosom 1 dan HLA-DQA1 dari kromosom 5, serta lima lokus khusus lain dengan teknik PCR (polymerase chain reaction). Pemeriksaan HLA-DLA-DQA1 memberikan hasil positif. Spesimen jenglot itu berasal dari keluarga primata-bisa monyet, bisa pula manusia. Namun dari penyelidikan atas lokus D1S80, Djaja mendapat kepastian bahwa sampel DNA itu berkarakteristik sama dengan manusia. Temuan mengejutkan itu diperkuat dengan kajian mesin PCR.
Lepas dari kontroversi itu, Tri hanya ingin menjadikan MTA sebagai media tempat belajar masyarakat tentang benda-benda bersejarah dan menyertai peradaban umat manusia.
Staf Museum, Subowo menambahkan, untuk menyimpan jenglot tersebut tidak memerlukan persyaratan khusus. Termasuk mitos aneh “mengkonsumsi darah” juga tidak di lakukan. Pihak museum menempatkan jenglot di sebuah toples teransparan dan diletakkan satu ruang bersama gamelan Cokronegoro I dan batu bersejarah.
Jenglot itu memiliki ketinggian sekitar 15 sentimeter dan berwarna hitam pekat. Di bagian tubuhnya banyak ditumbuhi rambut dengan dua taring memanjang di mulutnya. Di bagian bawah pusar dibungkus dengan kain kafan putih. Bagian mata juga sengaja ditutup dengan kain kafan ukuran kecil.


Di akhir tata penyajian pada ruang ini ditampilkan poster yang mengajak pengunjung terutama generasi muda untuk mau meneliti atau mengkaji tentang misteri Tosan Aji.

Teknik Penyajian

Dalam teknik penyajian tata pameran Museum Tosan Aji Jawa Tengah adalah menggunakan sistem:

Pendekatan Intelektual. Teknik pendekatan intelektual ini diterapkan terutama pada Ruang Pertama yakni dalam Ruang Undagi atau Ruang Teknologi. Pada ruang ini banyak dituntut mengenai teknis cara pembuatan tosan aji tersebut, sehingga untuk menguraikan prosesing dari bentuk bahan baku hingga menjadi bentuk yang sempurna harus dapat diurai secara ilmu pengetahuan (intelektual). Sehingga pada ruang ini sedikit banyak yang dapat memahami tata penyajian adalah para terpelajar.

Pendekatan Romantis (evokatif). Penyajian Romantis (evokatif) ini juga diterapkan pada Ruang Pertama yakni Ruang Undagi atau ruang Teknologi, dengan menyajikan bentuk Besalen (bengkel tradisional membuat keris) secara utuh seperti keadaan masih berada di tempat aslinya.

Pendekatan Estetis (keindahan). Tata penyajian pendekatan Estetis (keindahan) ini diterapkan pada keseluruhan penataan Ruang Pameran karena untuk seluruh benda koleksi yang dipamerkan supaya kelihatan menarik maka unsur Estetis penataan harus ada. Dalam hal ini terutama pada penyajian untuk Ruang Kedua, yakni Ruang Pamor, Dapur dan Warangka, namun demikian tidak dapat dihindari juga pada penataan ruang lainnya.

Memang kalau dikaji Museum Tosan Aji ini masih jauh dari sempurna, apalagi yang mengamati para sesepuh dan pakar Tosan Aji. Tetapi perlu diingat sebenarnya sasaran yang paling utama dengan didirikan Museum ini adalah khusus bagi para awam dan terutama generasi muda kita agar mereka dapat sedikit mengetahui tentang Tosan Aji. Sehingga di sini tata pameran yang diterapkan pada museum ini, dititik beratkan untuk penjelasan dasar tentang Tosan Aji dan khususnya keris. Sampai saat ini Museum Tosan Aji masih dalam taraf pengumpulan, perawatan, pelestarian, dan penyajian benda-benda koleksinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar